Selasa, 30 November 2010

MEMBONGKAR DEISLAMISASI SEJARAH INDONESIA


Judul : API SEJARAH
Penulis : Ahmad Mansyur Suryanegara
Penerbit : Salamadani Pustaka Semesta
Tebal : 578 Hal, xxx







Ahmad Mansyur Suryanegara:
“Bila Sejarawan Mulai membisu,hilanglah kebesaran masa depan generasi bangsa”

E.F.E Douwes Dekker Danoedirjo Setiabudi:
“Jika tidak karena sikap dan semangat perjuangan para ulama, sudah lama patriotism di kalangan bangsa kita mengalami kemusnahan”.

Membaca buku-buku sejarah Indonesia khususnya dalam mata pelajaran yang diajarkan dalam sekolah-sekolah dan perguruan tinggi maka, kita akan menyaksikan sebuah penyembunyian fakta-fakta sejarah yang seharusnya diketahui oleh generasi muda negara Indonesia ini. hal ini semakin diperparah oleh historiografi yang dibuat oleh orde baru dimana sejarah dibuat untuk kepentingan kekuasaan saat itu.
Peran ulama dan umat islam dalam pembentukan Indonesia menjadi salah satu hal yang tertutupi. Perjuangan para santri dan ulama bersama rakyat melawan penjajahan colonial, portugis, inggris, belanda jarang diungkap, berbagai perayaan hari-hari besar nasional dirayakan berdasarkan atas dasar fakta-fakta yang sebenarnya manipulatif. Hari kebangkitan nasional tanggal 20 mei 1908 yang dirayakan setiap tahun berdasar pada hari lahirnya boedi Utomo. Padahal boedi utama adalah organisasi kejawen (jawa, Madura) dan pro belanda, orang-orangnya adalah pegawai belanda dan sama sekali tidak mencita-citakan persatuan dan kemerdekaan Indonesia juga organisasi ini sangat anti pada islam dan bahkan pernah menghina rasulullah SAW. Sementara tahun 1905, berdiri sarikat dagang islam yang berdiri pertama kalinya sebagai wadah perjuangan melawan belanda dan menuntut kemerdekaan Indonesia. Bahasa yang digunakan bahasa melayu dan keanggotaannya seluruh Indonesia. 

Hari pendidikan nasional yang diperingati tiap tanggal 2 mei tiap tahunnya juga adalah ketetapan yang sangat politis dan subjektif. Hari kebangkitan nasional diperingati berdasar atas hari lahir Ki Hajar Dewantaram pendiri taman siswa, 1922 M. padahal 10 tahun sebelumnya 1912 KH. Ahmad Dahlan telah merintis pendirian pendidikan untuk pribumi saat itu.

Apakah ada deislamisasi sejarah di Indonesia?. Hal inilah yang kemudian coba untuk diangkat dan didiskusikan kembali oleh Ahmad Mansyur Suryanegara dalam bukunya API SEJARAH. buku ini telah membuka diskursus baru dalam proses penulisan sejarah Indonesia. Penulisan sejarah Indonesia yang sekuler dan anti islam menjadikan Indonesia yang mayoritas islam tidak bisa belajar tentang semangat kemerdekaan yang telah terbangun hampir seabad lalu. 

Buku yang ditulis oleh sejarawan muslim ini betul-betul merangkai dan merinci periodisasi sejarah Indonesia secara komprehensif dan gamblang dan menunjukkan dimana posisi dimana umat islam dalam setiap periode itu. ternyata umat islam memiliki sumbangsih besar dan sangat nyata dalam proses kemerdekaan Indonesia, persatuan wilayah-wilayah nusantara, penggunaan bahasa melayu sebagai bahasa Indonesia, perkembangan pendidikan di Indonesia dsb. 

Buku ini terbit dalam dua jilid, Jilid pertama membahas dari proses masuknya islam di Indonesia hingga peran umat islam dalam membangun kesadaran/ kebangkitan nasional. Dalam jilid ke dua membahas dan kelanjutan perjuangan umat islam dari zaman jepang hingga ke era reformasi paska kemerdekaan. Sebuah buku yang sangat mencerahkan dan memperkuat semangat kepada generasi kaum muslimin untuk kembali mengambil posisi dalam perjuangan-perjuangan selanjutnya untuk Islam dan kemaslahatan kau muslimin.(hasbi)





Minggu, 28 November 2010

ULAMA TELAH DAN MESTI MENJADI PEJUANG

Melihat Realitas masyarakat hari ini, tentunya kita bersepakat bahwa banyak sekali masalah dalam kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kemiskinan sudah menjadi pemandangan biasa dimana-mana, anak-anak putus sekolah, kehancuran moral dimana-mana dengan gaya hidup glamour yang dipertontonkan oleh generasi muda, kriminalitas terus meningkat dsb. Pemandangan di sisi lain, ada kemewahan yang juga dipertontonkan oleh pemegang-pemegang kekuasaan di negara ini bahkan saat dibuikan karena korupsi, mereka masih tetap menikmati kemewahan di bilik penjara itu. sebuah fakta yang biasa untuk masyarakat Indonesia, bahkan seolah-olah dianggap sebagai taken for granted oleh masyarakat, jadi, semua hanya bisa mengatakan mungkin inilah takdir yang kita harus hadapi , semoga ini akan berubah di waktu yang akan datang.

Kaum muslimin, atau para ulama yang diharap kapabel dalam memahami masalah dan mampu menarik hukum untuk masalah tersebut juga tak mampu melihat masalah itu secara menyeluruh dan fundamental. Bahwa, ternyata masalah-masalah cabang yang terjadi di Indonesia adalah karena penjajahan ideology kapitalisme di Indonesia. Kebebasan-kebebasan yang dijamin oleh sistem negara dalam sistem demokrasi ternyata hanya melahirkan tirani minoritas pemilik capital. Sehingga, yang berkuasa adalah pemilik modal yang menguasai badan-badan pemerintah, yang menguasai mindset masyarakat untuk berbudaya, budaya konsumsi, yang menguasai lahan-lahan sumber daya alam primer untuk kekayaan individu mereka dan menyia-nyiakan rakyat. Para ustad ,atau para ahli ilmu islam hanya mampu memberikan solusi-solusi yang sifatnya akibat dari masalah sebenarnya. Kemiskinan harus dilawan dengan kesabaran dan bekerja keras, kerusakan moral harus dilawan dengan memassifkan kajian-kajian religi, bahkan pemerintahan korup harus dilawan dengan ikut bersaing menjadi pejabat pemerintah. sehingga tidak sedikit para ulama yang terjebak dalam permainan buas kekuasaan.

Fakta seperti ini bagi para ulama menjadikan aktivis-aktivis yang anti-kapitalisme dengan ideology kirinya menjadikan alasan pembenaran dari teori marxistnya bahwa begitulah dan benarlah nabi kita karl marx, yang berkata bahwa agama hanyalah menjadi bagian dari struktur eksploitatif negara yang membenarkan dan mengaminkan kesewenang-wenangan negara. Betul, jika fakta yang dilihat sama seperti fakta hari ini hanya saja mereka tidak sedikit mencoba untuk melihat fakta yang lain dan menghubungkan semua fakta itu untuk mengambil kesimpulan dan tidak terburu-buru dalam menghakimi semua keyakinan.

Justru fakta yang telah ada adalah bahwa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia dari penjajah negara colonial, umat islam dan para ulama memegang tongkat utama perjuangan. Kedatangan colonial portugis dan spanyol abad 16 M dan kemudian menyusul Belanda, dan Inggris abad 17 M dijawab oleh perlawanan sengit oleh para ulama dan santri yang bersatu dengan kesultanan yang ada di nusantara saat itu. Demak, Banten, Cirebon, aceh, ternate, tidore, ambon, gowa dsb.
Penjajahan, penindasan dan pemurtadan, yang menjadi pengejewantahan dari cita-cita Gold, Glory dan Gospel (3 G) yang dibawa oleh penjajah terang saja menjadikan kaum muslimin di wilayah nusantara berontak dan bahu membahu mengusir penjajah. Dari perjuangan inilah sehingga lahirlah tokoh-tokoh, ulama-ulama yang tetap harum namanya sampai kini, ada Pangeran Dipanegoro putra sulung Sultan Hamengkubowono III yang berontak terhadap sikap sultan yang sudah dikuasai oleh penjajah belanda sehingga beliau sendiri yang turun memimpin peperangan melawan belanda, pecahlah perang dipanegoro 1825-1830. Kiai MoJo ulama dari jawa tengah, Imam Bonjol dari sumatera barat, dan syekh Yusuf Al-makassary, bahkan dari Syekh-Syekh gerakan tarekat seperti Syekh Akhmad Khatib Ahmad As-Sambasi pemimpin gerakan tarekat Qadiriyah dan Syekh Sulaiman Effendi pemimpin tarekat Naqsabandi dan banyak lagi ulama yang bergerak bersama rakyat untuk melawan penindasan dari para penjajah. dalam buku Api Sejarah yang ditulis Ahmad Mansyur Suryanegara, mengutip buku Jenderal Thomas Stanford Rafles, 1817, bahwa, meski jumlah para santri dan ulama hanya minoritas dari jumlah masyarakat tapi mereka memiliki sikap anti penjajah yang konsisten. Dan jika para ulama dan santri ini bekerjasama dengan sultan atau bupati maka akan sangat membahayakan kelestarian penjajah. bahkan menurut Suryanegara, Islam menjadi identitas anti penjajahan di Indonesia.

Sangat susah untuk meminggirkan peran umat islam dalam sejarah perjuangan melawan penjajahan. Hal ini terjadi memang pada dasarnya karena ajaran islam sendirilah yang senantiasa menjadi semangat perjuangan melawan penjajahan. Islam menyuruh untuk memerangi dan mengusir pihak yang memerangi dan mengusir umat islam, islam menyuruh untuk menolong orang-orang terzalimi.

Saat penjajah ingin masuk dan menguasai dan menerapkan hukumnya diwilayah-wilayah yang dikuasai dan diatur oleh hukum islam para sultan dan Ulama bersatu melawan penjajah. karena memang disamping para sultan dan ulama paham bahwa, penjajah pasti ingin mengeksploitasi wilayah nusantara dan masyarakatnya para Sultan dan ulama juga yakin dan istiqomah bahwa hanya aturan Islamlah yang menjadi satu-satunya aturan pembebas rahmatan lilalamin dan sebuah kewajiban untuk mempertahankannya. Meskipun pada akhirnya para sultan dan ulama itu harus dikudeta oleh penjajah dan kemudian diasingkan dan kemudian terbunuh.

Indonesia telah merdeka, sayangnya kemerdekaan itu tetap menyisakan hukum dan cita-cita Gold, Glory dan Gospel dari penjajah. dan akhirnya, bukan penjajahan yang hilang tapi uslub (cara praktisnya yang hilang) dari pejajahan dominasi fisik ke hegemoni ideologi kapitalisme. Dari tanam paksa untuk penjajah menjadi ikhlas dan sukarela untuk dieskploitas di pabrik-pabrik milik penjajah. pergantian periode kekuasaan di Indonesia tetap terjadi tapi yang menang tetap kapitalisme.

Ulama masa lalu di Indonesia mempertahankan nusantara dari penjajahan kolonial dan kemudian merebut kemerdekaan. Dengan islam mereka mempertahankan dan atas nama islam mereka berjuang. Cita-cita 3 G, penjajah yang mewujud pada kapitalisme global harus menjadi diskusi utama para ulama dan arah perjuangan saat ini dengan menjadikan islam sebagai asas perjuangan dan metode untuk melanjutkan kehidupan umat islam. satu kesukuran karena MUI telah memfatwakan kesesatan SIPILIS, Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, bukti bahwa para ulama juga sedang mulai menuju ke arah sana. Momentum hari pahlawan semestinya menjadi ajang refleksi diri, bermuhasabah untuk meluruskan niat dan tekad kita untuk perjuangan membebaskan Indonesia, negara-negara islam dan seluruh masyarakat dunia yang menanti futuhat islam melalui daulah khilafah untuk membebaskan mereka dari kelamnya kehidupan saat ini.

Selasa, 09 November 2010

Jangan Nodai Masjid Istiqlal dengan Menerima Presiden Negara Penjajah


Seperti yang diberitakan media massa, Presiden AS, Barack Obama, menurut keterangan Dubes RI untuk AS, Dino Patti Jalal, direncanakan akan mengunjungi Masjid Istiqlal, Jakarta, sebelum menyampaikan pidatonya di UI (Kompas.com, 08/11/2010). Masjid Istiqlal, sesuai dengan namanya, adalah masjid yang menjadi simbol kemerdekaan negeri ini dari penjajahan. Karena itu, kunjungan seorang Presiden negara penjajah ke masjid ini, sadar atau tidak, jelas telah menodai masjid yang menjadi simbol kemerdekaan itu. Alih-alih mengusir penjajah, sebagaimana yang dilakukan oleh para pahlawan kemerdekaan, justru pemerintah dan kaki tangannya malah menerima, dan membentangkan karpet merah untuk menyambut kedatangannya, bahkan menginjak-injak simbol kemerdekaan.

Memang benar, bahwa Obama kecil pernah tinggal di Indonesia, sebagai rakyat biasa, tetapi fakta Obama kecil tidak bisa digunakan untuk menghukumi Obama sekarang. Karena, dia kini jelas-jelas telah menjadi seorang Presiden AS, yang bukan hanya telah menjajah negeri-negeri kaum Muslim, tetapi tangannya pun masih berlumuran darah umat Islam, baik di Palestina, Irak, Afganistan maupun Pakistan. Karena itu, status Obama sekarang berbeda dengan Obama kecil. Obama sekarang adalah kepala negara Kafir Harbi fi’lan, dimana negaranya secara nyata sedang berperang dengan negeri-negeri kaum Muslim.

Hukum menerima Obama sebagai Presiden negara Kafir Harbi fi’lan jelas telah diharamkan oleh Islam, apalagi kedatangannya di Indonesia untuk menandatangani Kemitraan Komprehensif, yang sejatinya merupakan legalisasi penjajahan komprehensif AS terhadap Indonesia dalam segala bidang. Islam telah menetapkan, bahwa orang Kafir Harfi fi’lan hanya diperbolehkan masuk dan mendapatkan jaminan keamanan (al-amân), karena satu faktor, yaitu untuk mempelajari Islam, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an:

وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّـهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْلَمُونَ ﴿٦﴾

“Dan jika seorang di antara orang-orang Musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (Q.s. at-Taubah [09]: 06)

Selain itu, meski ada ikhtilaf di kalangan ulama’, menurut pendapat yang paling kuat, menerima mereka sama sekali tidak diperbolehkan. Terlebih, jika kedatangannya bukan untuk mempelajari Islam, tetapi untuk melegalkan dan melanggengkan penjajahannya di negeri ini, maka hukumnya haram. Dengan tegas Allah menyatakan:

وَلَن يَجْعَلَ اللَّـهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا ﴿١٤١﴾

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (Q.s. an-Nisa’ [04]: 141)

Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan jalan kepada mereka untuk menghancurkan negara orang-orang Mukmin, melenyapkan jejaknya dan membolehkan harta mereka.” (al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, V/417).

Karena itu, dengan tegas ayat ini mengharamkan siapapun untuk memberikan jalan kepada kaum Kafir untuk menguasai, menjajah dan menghancurkan negeri kaum Muslim, baik dengan menggunakan kekuatan fisik, seperti pendudukan, maupun non-fisik, seperti ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan lain-lain. Kemitraan Komprehensif yang akan diteken oleh Presiden AS, Barack Obama, dengan Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono, adalah alat penjajahan AS terhadap Indonesia. Perjanjian ini merupakan alat yang digunakan oleh AS, bukan hanya untuk melanggengkan penjajahannya, tetapi juga untuk memperluas bidang jajahannya, sehingga semakin memperkokoh penjajahannya di negeri ini.

Sebagaimana penggunaan istilah “Kemitraan Komprehensif”, yang menyesatkan, karena nyatanya bukan kemitraan, tetapi penjajahan, dengan tujuan agar rakyat negeri ini tidak marah dan melakukan perlawanan, maka dipilihnya Masjid Istiqlal sebagai salah satu tujuan kunjungan Obama juga merupakan bagian dari penyesatan. Karena sesungguhnya ini merupakan politik pencitraan, yang digunakan untuk mencitrakan dirinya bersahabat dengan Islam. Harapannya, Obama dan AS, bisa diterima sebagai sahabat umat Islam, karena telah menunjukkan penghormatannya kepada simbol agama umat Islam. Padahal, tangannya masih berlumuran darah umat Islam. Di tempat lain, tangan Obama juga digunakan untuk menghancurkan masjid di Pakistan, termasuk masjid al-Aqsa di Palestina.

Karena itu, kunjungan Obama ke Masjid Istiqlal sesungguhnya bukan merupakan bentuk penghormatan, tetapi justru penghinaan dan penyesatan opini dan politik yang sengaja digunakan untuk menjinakkan perasaan umat Islam yang marah kepada Amerika. Maka, membuka rumah Allah yang mulia kepada Presiden AS itu jelas merupakan pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya dan seluruh umat Islam. Sekaligus merupakan tindakan kriminal, yang diharamkan oleh Allah. Karena, berarti telah memberikan justifikasi kepada Obama dan AS untuk menjajah negeri ini, dan juga negeri-negeri kaum Muslim yang lain. Memang benar, ada sebagian ulama’ membolehkan orang Kafir Ahli Kitab untuk memasuki masjid, tetapi dalam status mereka sebagai Ahli Dzimmah. Namun, jika statusnya sebagai Kafir Harbi fi’lan, yang datang ke rumah Allah ini bukan untuk mempelajari Islam, tetapi untuk menghina dan menistakan Islam dan kaum Muslim, maka tentu hukumnya berbeda. Terhadap orang seperti itu, Allah menyatakan:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَاجِدَ اللَّـهِ أَن يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَىٰ فِي خَرَابِهَا ۚ أُولَـٰئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَن يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ ۚ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿١١٤﴾

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalanghalangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (Q.s. al-Baqarah [02]: 114)

Karena itu, kami menyerukan dari lubuk hati yang paling dalam, agar pihak otoritas Masjid Istiqlal menolak kunjungan Presiden AS, Barack Obama, itu ke masjid yang mulia ini. Jika tidak, maka Allah akan mencatat pengkhianatannya kepada-Nya, Rasul dan seluruh umat Islam. Kelak, mereka akan menyesali perbuatannya, sementara mereka dalam keadaan terhina.

Ya Allah, saksikanlah, bahwa kami telah menyampaikan.

Jakarta, 9 Nopember 2010

Rabu, 27 Oktober 2010

ANOTHER WORLD, HAVE TO BE (KRITIK ATAS SISTEM DUNIA SAAT INI)


Dalam berbagai diskusi tentang hubungan internasional. Para otoritas sering mengungkap bahwa era sekarang tidak bisa dipandang lagi sebagai era dimana  kekhawatiran-kekhawatiran tentang perang masih terjadi sehingga setiap Negara harus fokus pada perlombaan peningkatan kekuatan militer. Saat ini menurut mereka adalah era multipolaritas dimana semua Negara-negara secara internasional setara dan juga demokratisasi yang terjadi di hampir seluruh Negara menjadikan kemungkinan akan saling curiga dan perang semakin diperkecil. Demokrasi menjadikan partisipasi politik masyarakat semakin tinggi sehingga kontrol akan kebijakan pemerintah juga pasti akan terjadi dan akan beresiko jika pemerintah bertindak gegabah dengan mengambil tindakan sendiri, karena masyarakat bisa berontak dan mengacaukan stabilitas dalam negeri. 
Saat ini memang opini internasional sudah terlanjur didominasi oleh wacana diatas, tentang kemenangan demokrasi liberal, yang menjadikan keterbukaan informasi, kebebasan politik dan kebebasan ekonomi.  Menurut penganut paham ini, There is no alternative ,  demokrasi  adalah the end of history, meminjam istilah Margareth thatcher , mantan perdana menteri inggris, dan Francis Fukuyama, penulis best seller, The End of History and the last Man. Yang menjadi masalah bersama saat ini adalah, bagaimana menangani persoalan-persoalan kemanusiaan dan kejahatan transnasional, terrorisme, Globar Warming, pelanggaran HAM, demokratisasi,  dsb.  
Mengungkap Fakta yang Lain
            Saat ini kita berada di zaman globalisasi, dimana paradigma liberalisme  telah menjadi sebuah hal yang seolah-olah tidak bisa diperdebatkan lagi. Sebuah Negara yang tidak demokratis akan cepat-cepat dikecam, dan bahkan mungkin konservatif/ anti-kemajuan, atau bahkan dicap menjadi poros setan (Exis of Evil) seperti yang diistilahkan George Bush saat mengomentari, Korea Utara, Iran dan Kuba. Dan semua masyarakat internasional ikut mengaminkan bahwa Negara-negara yang tidak demokratis, anti HAM, haruslah dikecam, dan kalau perlu diasingkan dalam pergaulan internasional.
Posisi saya disini tidak untuk mendiskusikan tentang apakah kita harus demokratis atau tidak, tapi saya hanya ingin mengajak untuk mendialogkan kembali apakah memang kita mesti menjadikan system demokrasi atau liberalisme itu sebagai solusi atas problem domestik sebuah Negara dan juga problem  internasional.
Liberalisme adalah sebuah ideology yang menjadi pemenang dalam perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet dengan Sosialismenya. Sehingga setelah Amerika memenangkan pertarungan itu ide liberalism menjadi wacana dominan dalam pergaulan internasional. Bisa disimpulkan bahwa Amerika Adalah penguasa atas dominasi Ideologi Dunia saat ini. Artinya bisa juga dikatakan Amerika adalah penguasa internasional saat ini.
System internasional sekarang bukanlah system yang Multipolar dan juga demokratisasi. Tapi, system sekarang adalah system unipolar dimana Amerika Serikat menjadi penguasa tunggal atau pengendali utama konstelasi politik internasional dan juga demokratisasi hanyalah alat politik Amerika Serikat untuk mendapatkan kepentingannya dan memperkuat posisinya disebuah wilayah.
Untuk melihat bagaimana Amerika Serikat dalam mengimplementasikan kebijakan luar negerinya harus dilihat dahulu bagaimana Amerika mengatur stabilitas dalam negeri untuk kelancaran kebijakan dalam negerinya.
Melihat AS ke Dalam
Perkataan bahwa Amerika Serikat adalah Negara demokrasi terbesar di dunia saat ini harus ditinjau kembali. Pada faktanya kebebasan-kebebasan yang diceramahkan Amerika Serikat kepada negara-negara internasional tidak pernah tercipta dalam tubuh Amerika Serikat sendiri.  Justru demokrasi yang memberikan kebebasan politik, ekonomi, pers, kebebasan berfikir, dsb tidak ada di Amerika Serikat.
            Amerika Serikat dari segi politik, dalam hal pembuatan kebijakan-kebijakan masyarakat tidak punya andil untuk itu. Yang paling besar pengaruhnya adalah sponsor-sponsor, korporasi-korporasi atau pelobi, dalam pemilihan umum. Dan memang banyak pejabat-pejabat AS yang sekaligus menjadi pejabat-pejabat teras dalam sebuah perusahaan Multinasional tertentu, sehingga pastinya kebijakan-kebijakan politik Amerika Serikat sangat terikat oleh kepentingan-kepentingan pengusaha bukan rakyat. Menggambarkan politik AS Rutherford B. Hayes, presiden AS tahun 1876, pernah berkata dan menilai pemerintahannya sendiri, “ini adalah pemerintahan dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan”.
            Di sisi lain, persepsi publik terhadap Amerika serikat juga terkontrol, dikontrol oleh media yang juga menjadi bagian dalam tubuh pemerintahan dan korporasi, atau bahasa john perkins, Corporatocracy. Opini public direkonstruksi melalui media-media cetak dan audio visual. Tujuannya untuk mempertahankan stabilitas dalam negeri dan mempermudah lajunya aliran modal untuk memperkaya individu-individu dalam lingkar kekuasaan.  Gambaran sederhana ini bisa dibaca dalam lantunan lagu Green Day, American Idiot,
Don't want to be an American idiot / Don't want a nation under the new media / And can you hear the sound of hysteria? / The subliminal mind fuck America.
Welcome to a new kind of tension / All across the alien nation / Where everything isn't meant to be okay/Television dreams of tomorrow / We're not the ones who're meant to follow / For that's enough to argue.
Well maybe I'm the faggot America / I'm not a part of a redneck agenda / Now everybody do the propaganda / And sing along to the age of paranoia.
Don't want to be an American idiot / One nation controlled by the media/information age of hysteria.
It's calling out to idiot America/
Lagu ini sangatlah gamblang menggambarkan bagaimana kebodohan masyarakat Amerika yang “berperadaban tinggi” sangat gampang ditipu oleh tontonan semata. Masyarakat Amerika saat ini sudah terpalingkan fokusnya kepada kenikmatan kehidupan mereka sendiri, Bukan berarti bebas,  tapi karena otak mereka diserang terus dengan iklan-iklan yang menyenangkan dari TV ditambah lagi prestise hidup kaya. Obsesi-obsesi hidup mewah yang menjadikan Masyarakat AS menjadi Konsumtif, dan merelakan kredit terus menerus, Mobil, Rumah dsb dengan bunga tinggi.  akhirnya, tidak ada pilihan lain, hidup bebas harus diganti dengan kerja full time tiap harinya dan mereka terasingkan dalam kebebasannya sendiri.  
Mengendalikan opini public penting untuk mendapatkan stabilitas politik dalam negeri. Jika kondisi dalam negeri bisa dikendalikan dengan opini-opini yang dikontrol pemerintah maka tentulah negara itu bisa dengan mudah melakukan kebijakan luar negerinya, karena secara moral sudah didukung oleh warganya sendiri.  Jerry D Gray menggambarkan bagaimana kerja-kerja pers dilingkaran istana presiden yang membentuk opini public,
 “Jurnalis independen selamanya merupakan pemegang kebenaran dan keadilan di AS. Sayangnya, pengabdian seperti ini tak lagi bisa ditemukan. Sekarang, kita tidak memiliki sumber informasi lain kecuali media korporat. Bagi warga amerika yang mengandalkan sumber-sumer mainstream, dunia menjadi kian jauh dari realitas dan semakin berevolusi ke arah fantasi yang menyesatkan pasalnya, untuk mendapatkan informasi penting yang terandalkan tentang negara sendiri maupun dunia, sebagian besar warga Amerika mesti menjelajahi publikasi di internet. Betapa ironisnya, pers internasional menjadi sumber informasi yang jauh lebih terandalkan dibandingkan media mereka sendiri. Parahnya lagi, jaringan televise yang menyiarkan berita tidak banyak yang melaporkan kejadian yang sesungguhnya…..,Bush belum pernah mengadakan konferensi pers yang sesungguhnya, bush belum pernah menjawab pertanyaan yang belum diatur, disetujui, atau ditanyakan sebelumnya oleh konco Humas Bush yang kebetulan memiliki kartu wartawan”. Dosa-Dosa Media Amerika (Gray, 2006). 
US Foreign  Policy
City upon a hill adalah cita-cita Amerika Serikat, untuk menjadikan negaranya menjadi mercusuar dunia, agar AS dilihat sebagai sebuah Negara besar, makmur dan sejahtera. Dan kemudian akan memancarkan cahayanya keseluruh penjuru untuk memberikan penerangan pada seluruh kegelapan Negara-negara didunia, Manifest Destiny.  Demokratisasi atau Paham Liberalisme menjadi nilai yang “diyakini” oleh AS mampu mengubah peradaban bangsa-bangsa lain menjadi peradaban maju seperti Amerika Serikat. Hanya saja ternyata, pada faktanya bentuk-bentuk dari implementasi Manifest destiny itu sangatlah menyimpang dari cita-cita AS. Kembali ke logika From Business by Business and for Business, propaganda demokratisasi hanyalah jalan untuk melempangkan modal-modal  internasional milik segelintir orang di Amerika Serikat.  Perang irak, Amerika Serikat, disamping alasan senjata pemusnah massal, yang ternyata CIA membuktikan tidak ada disana, Demokratisasi juga menjadi alasan Invasi itu. Nyatanya, setelah perang bagi-bagi rampasan perang pun dimulai, berbagai proyek konstruksi di bangun oleh perusahaan Multinasional Halliburton yang wakil presiden, Dick Cheney saat itu menjadi salah satu dalam strukturnya.  Bahkan jauh-jauh hari sebelum rencana invasi, para pengusaha telah memetakan lahan-lahan strategis minyak Irak. 
Amerika banyak memuji Indonesia dalam hal pelaksanaan demokrasi di Indonesia dan banyak membantu Indonesia dalam proses demokrasinya. Nyatanya, demokrasi tidak pernah ada, Aset-aset Negara dijual atas legalitas lembaga-lembaga demokratis, Eksekutif, legislative dan yudikatif, tak lupa kepada Perusahaan Amerika. Sementara masyarakat harus menanggung beban hidup sendiri, pendidikan, kesehatan, dan semua kebutuhan primer menjadi jualan. Padahal demokrasi menjanjikan Prosperity.
Sebenarnya bukan Demokrasi yang diinginkan oleh Amerika Serikat tapi kepentingan ekonominya. Wacana demokratisasi dan liberalisasi hanya terjadi paska perang dingin. Sebelum-sebelumnya, Amerika banyak membantu para penguasa militeristik untuk mempertahankan dominasinya atas Negara- negara lain agar tidak terjatuh dalam ideology komunisme.  Dan membantu kudeta atas pemerintah-pemerintah yang berani melawan kehendak Amerika Serikat. Soeharto contohnya, kontrol ketat atas rakyat dan stigmatisasi pada komunis membuat dia didukung habis-habisan oleh Amerika Serikat  dan sekutu-sekutunya. Sementara di Amerika Latin, presiden Ekuador, Jaime Roldos, dan Panama, Omar Torrijos, mati mengenaskan dan diganti oleh pemimpin lain karena tidak patuh atas perintah Amerika Serikat. Saat ini pun, Amerika masih mendukung institusi-institusi negara yang tidak demokratis, Arab Saudi, Mesir, India, dan Zionisme.
Mengenai penghargaan atas hukum internasional yang diprakarsai salah satunya oleh Amerika Serikat. Malah Amerika Sendiri yang menjadi penjahat hukum internasional nomor wahid di dunia. Perang di irak dan Afghanistan bukan lagi untuk membebaskan negara itu seperti slogannya tapi  pembantaian pada semua masyarakat, tidak peduli masyarakat sipil atau siapapun. Penyiksaan  di penjara-penjara rahasia AS pada orang-orang yang tertuduh pejuang mereka dimasukkan saja tanpa perlu proses terlebih dahulu. Bantuan dana dan militer ke Israel setiap tahun dijadwalkan.  PBB tidak berkutik, semua negara tidak berani bertindak palingan hanya mengecam itupun sebagian kecil.
Ujung-ujungnya mengarah pada satu kepentingan, kekuasaan dan ekonomi. Amerika betul-betul telah melaksanakan proyek tata dunia baru dan Pax-Americana dimana Amerika telah berhasil menjadikan dirinya sebagai polisi dunia. Untuk mengamankan dunia dari pesaing yang bisa mengganggunya. Poinnya bukan lagi demokratis atau tidak tapi, national interest.
Islam, Competitor of Pax-Americana
            Tahun 2003 NIC, National Intelligence Council, lembaga think tank AS telah membuat laporan tentang prediksi politik global tahun 2020, “Mapping Global Future”,secara umum disebutkan bahwa tahun 2020 akan muncul beberapa penguasa dunia internasional yang akan mempengaruhi dunia: Ada tiga kekuatan baru yang akan menjadi pesaing Amerika Serikat di tahun 2020 menurut Badan Intelijen Nasional Amerika Serikat. China, India dan Islam dengan peradaban yang menurut badan ini adalah negara islam radikal yang anti dengan peradaban barat. Samuel P. Huntington sejak dulu juga telah pernah menuliskan bahwa bukan golongan islam radikal yang menjadi oposisi bagi peradaban barat tapi islam itu sendiri yang nilai-nilainya tidak akan bisa dikompromikan dengan islam. pada intinya islam memang telah menjadi sasaran utama dalam kebijakan kebijakan Amerika Serikat saat ini.

Tesis Huntington ini dipublikasikan sejak awal-awal tahun 90-an. Dan kemudian amerika serikat mendapatkan jalannya untuk melancarkan perang atas Islam sejak peristiwa black September, 9/11. Dimana AS langsung menuduh orang-orang muslim dan pemikiran radikal mereka sebagai pelaku dari gerakan pemboman tersebut, yang kemudian hari disebut terrorisme. Meskipun pada perkembangannya hingga kini, banyak keanehan-keanehan yang akhirnya disimpulkan bahwa penghancuran WTC dan Pentagon itu rekayasa AS sendiri.

Beberapa hari paska pengeboman itu, Bush mengatakan pada public AS bahwa, perbuatan terror ini adalah dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrimis islam, Al-qaedah yang mencita-citakan sebuah pemerintahan radikal yang anti demokratis yang membentang dari Spanyol, ke afrika, timur tengah dan Asia atau disebut, Caliphate, Kekhalifahan. Tahun 2005 di National Endowment for Democracy, Bush kembali mengulangi, kata-katanya persis seperti beberapa tahun sebelumnya dia ungkapkan. Condeezza Rice, dikesempatan lain juga mengatakan bahwa kemenangan itu bukan ketika teroris dikalahkan dengan kekuatan militer, tetapi ketika ideology kematian dan kebencian itu berhasil dikalahkan.

Berbagai macam pendekatan yang dilakukan oleh Amerika Serikat untuk membendung pengaruh radikalisme islam di seluruh dunia. Bush saat pidato paska keruntuhan WTC sudah mengancam seluruh dunia dengan mengajak seluruh negara untuk melawan terrorisme dengan berkata, Either you with us or with terrorism. Politik stick and carrot , pendekatan ini digunakan oleh Amerika Serikat  untuk menangani targetnya, negara-negara islam untuk melawan gerakan-gerakan islam yang dicap radikal/ekstrimis.  

Negara-negara yang mau kerjasama dan tunduk pada perintah Amerika Serikat dalam penanganan terrorism akan disuapi berjuta-juta dollar oleh AS. Di wilayah asia tenggara, Indonesia dan Filipina adalah dua negara yang paling banyak disumbang oleh AS untuk pemberantasan pemikiran-pemikiran atau gerakan-gerakan yang bisa menjadikan AS itu sebagai musuh. Di Asia Selatan, Pakistan didanai oleh AS untuk membantu memerangi gerakan-gerakan/pejuang-pejuang islam yang ada di negara itu. Begitupun Mesir penerima bantuan kedua terbesar AS setelah Israel, banyak menangkapi aktifis-aktifis yang bicara tentang politik islam.

Setelah keruntuhan Uni Soviet sebagai pesaing ideologis utama  Islam menjadi pesaing utama bagi negara Amerika Serikat. Hanya saja islam saat ini belum menjadi sebuah entitas politik yang bersatu dalam sebuah kepemimpinan. Amerika Serikat sangat paham akan hakikat dari Islam itu sendiri yang bukan saja agama ritual tapi sebuah ideology mendasar tentang bagaimana manusia hidup dan menjalankan kehidupannya. Sehingga, jika islam menjadi sebuah negara seperti satu abad yang lalu maka itu akan membahayakan demokrasi dan kepentingan nasional Amerika serikat
Maka, wahai kaum muslimin semua umat manusia menunggu gerakmu untuk menegakkan khilafah sebagai satu-satunya sarana penegakan hukum syariah dan juga akan menghentikan imperialism barat yang menghancurkan umat manusia dan mempercepat kiamat bagi bumi ini dengan ideology kapitalismenya***.
                                                                                               
           

Sabtu, 23 Oktober 2010

Refleksi 82 tahun sumpah pemuda indonesia ,sebuah kritik atas Nasionalisme gerakan Mahasiswa

Tanggal 28 oktober 1928 dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai masa deklarasi kesatuan Indonesia dalam sebuah bangsa, bahasa dan tanah air yang satu. Para pemuda dan pelajar dari berbagai penjuru nusantara datang dan berkumpul untuk mengikrarkan sumpah setianya pada tanah air. Hal ini kemudian menjadi ruh dari perjuangan dan pergerakan pemuda dan mahasiswa hingga saat ini, ruh cinta pada bangsa dan tanah air. Masalahnya kemudian adalah apakah semangat nasionalisme ini menjadi semangat dan ikatan yang bisa menjamin kebebasan Indonesia dari permasalahan Indonesia saat ini, tentunya dari fakta-fakta sejarah hingga saat ini yang kita lihat bisa menjawab kegelisahan kita akan makna dari sumpah pemuda dan nasionalisme itu sendiri.

Tanggal 17 agustus 1945, atas berkat rahmat Allah swt seperti yang tertulis dalam muqaddimah undang-undang dasar 1945, Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Kemerdekaan yang didapatkan dari hasil jerih payah dan dari perasan darah para pejuang-pejuang Indonesia terdahulu. Setelah itu bertahtalah soekarno dan hatta sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia pertama. Hanya saja kemudian diturunkan paksa oleh kekuatan rakyat yang mahasiswa juga didalamnya setelah berkuasa 27 tahun.

Soeharto di lantik tahun 1967 dengan dukungan besar dari kalangan mahasiswa. Saat itu banyak aktivis-aktivis yang ditarik ke lingkar kekuasaan orde baru. Akan tetapi, hubungan mesra antara pemerintah dan mahasiswa akhirnya kandas. Saat mahasiswa melihat pemerintah yang baru ternyata juga tidak berfihak pada rakyat. Korupsi besar-besaran terjadi ditubuh pemerintah diawal tahun 70-an, pembangunan aliansi dengan tokoh politik dan pengusaha besar masa soekarno, pelanggaran HAM di berbagai tempat , pembangunan TMII, Taman Mini Indonesia Indah, penanaman modal asing. Semua problem yang terjadi menjadikan mahasiswa kembali berkonsolidasi dan kemudian berontak, turun ke jalan-jalan untuk menyuarakan protesnya pada pemerintah. Klimaks dari gerakan periode ini kemudian terjadi tanggal 15 januari saat mahasiswa menolak kehadiran perdana menteri jepang dan investasinya di Indonesia . saat itu aktivis kota Jakarta lumpuh total, pembakaran property terjadi dimana-mana, 9 orang meninggal dan 820 orang tertangkap, atau sering dikenang dengan MALARI, Malapetaka 15 januari.

Pada periode-periode selanjutnya, 1998 penggulingan soeharto , naiknya pemerintah-pemerintah baru era reformasi, hingga periode kedua pemerintahan SBY, mahasiswa masih tetap pada semangat dan militansinya mengontrol setiap kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang berkuasa, meski harus berontak dan kemudian didemonisasi oleh media.

Nasionalisme, kritik Ideologi gerakan mahasiswa

Semangat bela negara (nasionalisme) atau bela rakyat menjadi alasan utama kenapa mahasiswa mesti bergerak. Sehingga seperti itulah adanya gerakan-gerakan mahasiswa dalam catatan-catatan sejarah. Bahwa mereka di represi, ditahan, bahkan dibunuh. Itu tidak jadi soal yang penting tanggung jawab sebagai warga negara harus dijalankan.

Menarik ketika membaca buku Suharsih dan Ign Mahendra, Bergerak bersama rakyat, sejarah gerakan mahasiswa dan perubahan sosial di Indonesia (2007) tentang kritiknya atas gerakan mahasiswa bahwa, gerakan mahasiswa dalam segala periodisasinya adalah gerakan yang pragmatis dalam artian mahasiswa bergerak tergantung isu yang berkembang dan yang dianggap mesti untuk dikritisi. Sementara persoalan mendasar dari masalah yang terjadi tidak terungkap sama sekali sehingga yang terjadi adalah tambal sulam dan menjadi alat peralihan dari satu penguasa ke penguasa yang lain.

Tahun 1966, gerakan mahasiswa gencar dan bersatu, bahu membahu meruntuhkan soekarno karena komunismenya. Padahal dibalik militansi dan semangat mahasiswa saat itu, Amerika Serikat bermain melalui badan intelijennya. Isu-isu yang ada sudah dikonstruksi oleh para tokoh-tokoh yang menjadi agen-agen kepentingan kapitalisme global Amerika Serikat dan untuk menghalau komunisme di Asia Tenggara oleh Uni Sovyet. Dan kemudian, naiklah Soeharto dan membantai para tertuduh-tertuduh komunis dengan jumlah kurang lebih 3 juta orang. Sebuah pembinasaan yang terbesar masa-masa pasca perang dunia 2. Pada tahun yang sama pula kebijakan-kebijakan perekonomian Indonesia sudah didikte oleh korporasi-korporasi asing dalam pertemuan di jenewa 1967. Gerakan mahasiswa ikut terlibat secara moral dalam kasus pembantaian oleh soeharto dan juga terlibat dalam memasukkan Indonesia ke dalam perangkap penjajahan kembali.

Tahun 1998 kesalahan kembali terulang oleh gerakan-gerakan mahasiswa yang
berhasil menurunkan soeharto. Hasyim wahid, menggambarkan dengan jelas dalam tulisannya bahwa, penurunan soeharto memang sudah direncanakan oleh Amerika Serikat karena disamping Soeharto sudah kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Amerika juga sudah menganggap saatnyalah liberalisasi secara fundamental harus dijalankan di dunia ini. karena memang dukungan AS kepada monopoli perdagangan pemerintah Indonesia era orde baru hanyalah kompensasi atas perlawanan anti komunisme di Indonesia. Maka digulingkanlah Soeharto saat-saat krisis tengah memuncak setelah terlebih dahulu menandatangani Letter of Intent dengan IMF. Rezim kemudian terus berganti, Timur-timur lepas dari kedaulatan negara Indonesia, privatisasi disegala bidang, minimalisasi impor pertanian, pengurangan subsidi disektor-sektor penting masyarakat dan pelayanan sosial,Investasi asing langsung, otonomi daerah yang membentuk penguasa-penguasa korup baru. Semua itu terjadi hingga saat ini. Sementara gerakan mahasiswa masih menjadi gerakan moral dan kritiknya pada penguasa adalah kritik loyal pada pemerintah, padahal masalahnya ada pada system yang dianut saat ini. Sekulerisme-Liberal-kapitalis-demokrasi.

Sumpah Mahasiswa Jilid II

Gerakan mahasiswa saat ini sudah semestinya merefleksi diri dari keterkungkungan nasionalisme yang dianutnya. Ikatan ini ikatan yang tidak memberikan arti apa-apa bagi pemerdekaan Indonesia dari segala macam keterjajahan. Karena memang pada dasarnya kecintaan pada kelompok, suku atau bangsa itu adalah alamiah pada manusia. hanya saja ikatan itu tidak bisa menjadi pengikat dalam sebuah masyarakat. Militansi gerakan mahasiswa harus diikat dan dilandasi dengan ikatan ideologi. Makanya, gerakan mahasiswa jangan takut mengikrarkan sumpah pemuda jilid II. Perjelas siapa lawan dan untuk apa kita harus melawan, kemudian rebut kekuasaan.
Berangkat dari kesadaran inilah sehingga tepat tanggal 18 oktober 2009 di jakarta mahasiswa-mahasiswa Islam berkumpul untuk mendeklarasikan Sumpah Mahasiswa yang berisikan: pertama, Sistem sekuler, kapitalis-demokrasi maupun sosialis-komunis adalah menjadi sumber penderitaan rakyat dan sangat membahayakan eksistensi Indonesia dan negeri-negeri muslim lainnya. Kedua, bahwa kedaulatan adalah milik Allah SWT untuk menentukan masa depan Indonesia dan negeri-negeri muslim lainnya. Ketiga, terus berjuang tanpa lelah untuk tegaknya syariah islam dalam naungan khilafah Islamiyah sebagai solusi tuntas problematika masyarakat Indonesia dan negeri-negeri muslim lainnya. Keempat, perjuangan yang dilakukan adalah dengan seruan dan tantangan intelektual tanpa kekerasan, terakhir, perjuangan yang dilakukan bukanlah karena tuntutan sejarah tapi adalah konsekuensi iman yang mendalam kepada Allah Swt. ***

Senin, 18 Oktober 2010

Globalisasi dan Proses Pemiskinan Negara Berkembang


Setelah perang dunia dua negara-negara yang ada di eropa hancur lebur dari segala aspek, ekonomi, militer dan politik. Ini yang menjadikan negara-negara Eropa yang dominan adalah negara colonial dan memiliki daerah jajahan diberbagai belahan dunia terpaksa harus keluar dari wilayah-wilayah jajahannya. Kemudian berdirilah negara-negara baru di benua Afrika, Asia dan Amerika. 
Tentunya sebagai negara-negara yang baru berdiri mereka butuh sesuatu untuk membangun negaranya untuk menunjang pembangunan negaranya. Di sinilah amerika serikat mengirimkan agen-agennya untuk mempengaruhi pemikiran pemimpin negara-negara yang baru berdiri ini untuk bekerjasama dengan Amerika Serikat. Hal ini diungkap dengan jelas oleh seorang mantan agen atau disebut bandit ekonomi, yang bernama John Perkins dalam bukunya, Confession of an Economic Hitman.
Dalam bukunya Perkins mengungkap perselingkuhan korporasi, pemerintah dan intelektual untuk menguasai sebuah negara.  para intelektual-intelektual tersebut mendatangi setiap negara-negara yang baru merdeka; memperkenalkan konsep pembangunan dengan melakukan pembangunan infrastruktur sebanyak-banyaknya , jalan raya, pelabuhan, bandara pembangkit listrik dsb. 
Negara-negara yang kemudian menyetujui hal tersebut akan diberikan hutang dari institusi keuangan global, IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Hutang inipun tidak secara gratis diberikan tapi diikuti dengan berbagai persyaratan-persyaratan atau disebut Structural Adjustment Program .  Program penyesuaian struktural dimana setiap negara penghutang harus tunduk pada aturan-aturan liberalisme; pengurangan peran negara dalam pengelolaan sumber dayanya, membuka usaha-usaha milik negara untuk dimiliki oleh pihak swasta, Privatisasi, merevisi undang-undang yang dianggap menghambat korporasi, deregulasi  dan banyak lagi kebijakan-kebijakan lainnya. sampai saat ini pola-pola kerja Amerika Serikat dalam berekspansi secara ekonomi dengan cara-cara tadi.
Negara Berkembang terjebak Permainan Globalisasi Kapitalisme
Tahun 1982 Meksiko mengumumkan bahwa negaranya  krisis utang, dimana meksiko tidak mampu lagi membayar utangnya. Maka, Meksiko mengundang IMF  untuk memberikan bantuan atasnya. Saat itu IMF memberikan sekitar 3,9 miliar dollar As dengan persyaratan yang telah dibuat oleh lembaga ini seperti, reformasi pasar, pemotongan subsidi dan privatisasi.
Sejak tahun 1983 meksiko sudah memprivatisasi sekitar 1000 BUMNya hal ini sangat menyiksa masyarakat meksiko karena mereka harus membeli produk swasta yang pasti mengejar keuntungan. Dalam hal pemotongan subsidi. Masyarakat Meksiko rela untuk meninggalkan profesinya sebagai petani jagung karena pemerintah tidak lagi memberikan bantuan yang memadai bagi mereka. Juga, serbuan produk jagung yang murah dari AS  yang sudah disubsidi membuat produk lokal tidak bersaing.
Di Afrika lain lagi ceritanya, sebagai negara-negara yang terkenal dengan tingkat penderita AIDS yang sangat tinggi negara-negara di Afrika, negara ini mau tidak mau harus menerima tawaran dari lembaga-lemabaga donor internasional dan yang pasti kesepakatan-kesepakatan tentang Structural adjustment program tidak pernah ketinggalan.  
Pembayaran hutang saja oleh negara-negara  Afrika itu sudah menguras sebagian dari anggaran pembelanjaan negara. Tanzania  sebagai salah satu negara di Afrika, delapan persen rakyatnya menderita AIDS, tahun 1993 tanzania harus membayar sekitar 3,1 persen produk domestic brutonya untuk pembayaran hutang dan hanya 1,3 persen untuk layanan kesehatan.
Dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang lain seperti pengurangan subsidi, hal ini juga semakin memperparah kondisi  negara-negara di Afrika. Pengurangan subsidi pertanian di Zimbabwe telah menaikkan harga pangan di negara tersebut sehingga masyarakat harus mengurangi jatah makan mereka menjadi dua kali sehari. Ini sangat membuat masyarakat menjadi malnutrisi dan semakin memperbesar kemungkinan AIDS akan terus mewabah . salah seorang direktur AIDS PBB, Dr. Peter Piot mengatakan bahwa “ penyesuaian struktural meningkatkan masalah-masalah tertentu bagi pemerintah karena kebanyakan dari factor-faktor yang memicu wabah AIDS adalah juga factor-faktor yang terkena dampak program penyesuaian struktural. 
Di Indonesia sebagai salah satu negara di Asia dan bersahabat baik dengan rezim kapitalisme global hingga saat ini jelas terlihat seberapa besar pengaruh dari structural adjustment program terhadap  negara ini.  awal-awal naiknya penguasa orde baru ke kursi kekuasaannya pemerintah baru ini dengan segera berpaling dan sangat pro terhadap kebijakan liberalisme yang ditawarkan oleh Amerika Serikat. Maka, pada tahun 1967 di sebuah pertemuan di  Genewa, Swiss disponsori oleh sebuah korporasi besar, Long Life Corporation, disitulah Indonesia dibagi-bagi oleh para pemilik korporasi besar tersebut. Salah satunya adalah gunung emas di Papua yang diberikan  kepada PT. Freeport Mc Moran.
Setelah itu berbagai kebijakan-kebijakan kemudian saling susul- menyusul ke Indonesia apalagi setelah krisis moneter 1998 dimana Indonesia harus kembali meminta petunjuk ke lembaga keuangan internasional, IMF. Indonesia semakin harus memberikan segala yang ada di dirinya untuk dinikmati oleh orang-orang asing dengan alasan hutang yang bersyarat. Undang-Undang Penanaman Modal ASing, Undang-Undang Privatisasi, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, kebijakn ekspor impor kesemuanya tidak lepas dari kepentingan-kepentingan kapitalisme global. Hasilnya adalah indonesia yang kaya raya hingga saat ini masih berkubang dalam lumpur hidup yang terus menerus menghisap dan akan membunuhnya. Hingga saat ini jumlah orang miskin di Indonesia  yang menurut standar Bank Dunia US$ 2/perhari mencapai seperdua dari masyarakat Indonesia yang ada saat ini.  belum lagi pelayanan sosial masyarakat, Pendidikan, kesehatan, dsb kesemuanya sangat memperihatinkan bagi kita sebagai orang Indonesia .
Globalisasi yang membawa nafas kapitalisme saat ini ternyata tidak memberikan dampak positif apa-apa bagi negara-negara berkembang utamanya dalam hal pembangunan ekonomi dan pelayanan sosial bagi masyarakat***