Minggu, 28 November 2010

ULAMA TELAH DAN MESTI MENJADI PEJUANG

Melihat Realitas masyarakat hari ini, tentunya kita bersepakat bahwa banyak sekali masalah dalam kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kemiskinan sudah menjadi pemandangan biasa dimana-mana, anak-anak putus sekolah, kehancuran moral dimana-mana dengan gaya hidup glamour yang dipertontonkan oleh generasi muda, kriminalitas terus meningkat dsb. Pemandangan di sisi lain, ada kemewahan yang juga dipertontonkan oleh pemegang-pemegang kekuasaan di negara ini bahkan saat dibuikan karena korupsi, mereka masih tetap menikmati kemewahan di bilik penjara itu. sebuah fakta yang biasa untuk masyarakat Indonesia, bahkan seolah-olah dianggap sebagai taken for granted oleh masyarakat, jadi, semua hanya bisa mengatakan mungkin inilah takdir yang kita harus hadapi , semoga ini akan berubah di waktu yang akan datang.

Kaum muslimin, atau para ulama yang diharap kapabel dalam memahami masalah dan mampu menarik hukum untuk masalah tersebut juga tak mampu melihat masalah itu secara menyeluruh dan fundamental. Bahwa, ternyata masalah-masalah cabang yang terjadi di Indonesia adalah karena penjajahan ideology kapitalisme di Indonesia. Kebebasan-kebebasan yang dijamin oleh sistem negara dalam sistem demokrasi ternyata hanya melahirkan tirani minoritas pemilik capital. Sehingga, yang berkuasa adalah pemilik modal yang menguasai badan-badan pemerintah, yang menguasai mindset masyarakat untuk berbudaya, budaya konsumsi, yang menguasai lahan-lahan sumber daya alam primer untuk kekayaan individu mereka dan menyia-nyiakan rakyat. Para ustad ,atau para ahli ilmu islam hanya mampu memberikan solusi-solusi yang sifatnya akibat dari masalah sebenarnya. Kemiskinan harus dilawan dengan kesabaran dan bekerja keras, kerusakan moral harus dilawan dengan memassifkan kajian-kajian religi, bahkan pemerintahan korup harus dilawan dengan ikut bersaing menjadi pejabat pemerintah. sehingga tidak sedikit para ulama yang terjebak dalam permainan buas kekuasaan.

Fakta seperti ini bagi para ulama menjadikan aktivis-aktivis yang anti-kapitalisme dengan ideology kirinya menjadikan alasan pembenaran dari teori marxistnya bahwa begitulah dan benarlah nabi kita karl marx, yang berkata bahwa agama hanyalah menjadi bagian dari struktur eksploitatif negara yang membenarkan dan mengaminkan kesewenang-wenangan negara. Betul, jika fakta yang dilihat sama seperti fakta hari ini hanya saja mereka tidak sedikit mencoba untuk melihat fakta yang lain dan menghubungkan semua fakta itu untuk mengambil kesimpulan dan tidak terburu-buru dalam menghakimi semua keyakinan.

Justru fakta yang telah ada adalah bahwa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia dari penjajah negara colonial, umat islam dan para ulama memegang tongkat utama perjuangan. Kedatangan colonial portugis dan spanyol abad 16 M dan kemudian menyusul Belanda, dan Inggris abad 17 M dijawab oleh perlawanan sengit oleh para ulama dan santri yang bersatu dengan kesultanan yang ada di nusantara saat itu. Demak, Banten, Cirebon, aceh, ternate, tidore, ambon, gowa dsb.
Penjajahan, penindasan dan pemurtadan, yang menjadi pengejewantahan dari cita-cita Gold, Glory dan Gospel (3 G) yang dibawa oleh penjajah terang saja menjadikan kaum muslimin di wilayah nusantara berontak dan bahu membahu mengusir penjajah. Dari perjuangan inilah sehingga lahirlah tokoh-tokoh, ulama-ulama yang tetap harum namanya sampai kini, ada Pangeran Dipanegoro putra sulung Sultan Hamengkubowono III yang berontak terhadap sikap sultan yang sudah dikuasai oleh penjajah belanda sehingga beliau sendiri yang turun memimpin peperangan melawan belanda, pecahlah perang dipanegoro 1825-1830. Kiai MoJo ulama dari jawa tengah, Imam Bonjol dari sumatera barat, dan syekh Yusuf Al-makassary, bahkan dari Syekh-Syekh gerakan tarekat seperti Syekh Akhmad Khatib Ahmad As-Sambasi pemimpin gerakan tarekat Qadiriyah dan Syekh Sulaiman Effendi pemimpin tarekat Naqsabandi dan banyak lagi ulama yang bergerak bersama rakyat untuk melawan penindasan dari para penjajah. dalam buku Api Sejarah yang ditulis Ahmad Mansyur Suryanegara, mengutip buku Jenderal Thomas Stanford Rafles, 1817, bahwa, meski jumlah para santri dan ulama hanya minoritas dari jumlah masyarakat tapi mereka memiliki sikap anti penjajah yang konsisten. Dan jika para ulama dan santri ini bekerjasama dengan sultan atau bupati maka akan sangat membahayakan kelestarian penjajah. bahkan menurut Suryanegara, Islam menjadi identitas anti penjajahan di Indonesia.

Sangat susah untuk meminggirkan peran umat islam dalam sejarah perjuangan melawan penjajahan. Hal ini terjadi memang pada dasarnya karena ajaran islam sendirilah yang senantiasa menjadi semangat perjuangan melawan penjajahan. Islam menyuruh untuk memerangi dan mengusir pihak yang memerangi dan mengusir umat islam, islam menyuruh untuk menolong orang-orang terzalimi.

Saat penjajah ingin masuk dan menguasai dan menerapkan hukumnya diwilayah-wilayah yang dikuasai dan diatur oleh hukum islam para sultan dan Ulama bersatu melawan penjajah. karena memang disamping para sultan dan ulama paham bahwa, penjajah pasti ingin mengeksploitasi wilayah nusantara dan masyarakatnya para Sultan dan ulama juga yakin dan istiqomah bahwa hanya aturan Islamlah yang menjadi satu-satunya aturan pembebas rahmatan lilalamin dan sebuah kewajiban untuk mempertahankannya. Meskipun pada akhirnya para sultan dan ulama itu harus dikudeta oleh penjajah dan kemudian diasingkan dan kemudian terbunuh.

Indonesia telah merdeka, sayangnya kemerdekaan itu tetap menyisakan hukum dan cita-cita Gold, Glory dan Gospel dari penjajah. dan akhirnya, bukan penjajahan yang hilang tapi uslub (cara praktisnya yang hilang) dari pejajahan dominasi fisik ke hegemoni ideologi kapitalisme. Dari tanam paksa untuk penjajah menjadi ikhlas dan sukarela untuk dieskploitas di pabrik-pabrik milik penjajah. pergantian periode kekuasaan di Indonesia tetap terjadi tapi yang menang tetap kapitalisme.

Ulama masa lalu di Indonesia mempertahankan nusantara dari penjajahan kolonial dan kemudian merebut kemerdekaan. Dengan islam mereka mempertahankan dan atas nama islam mereka berjuang. Cita-cita 3 G, penjajah yang mewujud pada kapitalisme global harus menjadi diskusi utama para ulama dan arah perjuangan saat ini dengan menjadikan islam sebagai asas perjuangan dan metode untuk melanjutkan kehidupan umat islam. satu kesukuran karena MUI telah memfatwakan kesesatan SIPILIS, Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, bukti bahwa para ulama juga sedang mulai menuju ke arah sana. Momentum hari pahlawan semestinya menjadi ajang refleksi diri, bermuhasabah untuk meluruskan niat dan tekad kita untuk perjuangan membebaskan Indonesia, negara-negara islam dan seluruh masyarakat dunia yang menanti futuhat islam melalui daulah khilafah untuk membebaskan mereka dari kelamnya kehidupan saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar