Selasa, 12 November 2013

NASEHAT BUAT PREMAN PALANGKARAY (GPI)


Aktifitas kelompok preman di Palangkaraya terhadap sekretariat gerakan mahasiswa Pembebasan wilayah Palangkaraya tidak akan pernah diakui oleh seluruh pendiri negeri Indonesia meskipun mengatasnamakan cinta tanah air atau nasionalisme. Perilaku mereka dalam menghakimi sebuah pemikiran sangat jauh dari “sunnah” para pendiri negeri ini. terlebih lagi latar belakang para preman itu mengatasnamakan lembaga-lembaga mahasiswa yang dididik untuk berfikir ilmiah dan rasional dalam setiap tindakan dan perbuatan, bukan emosional. Tindakan yang dibawah oleh kelompok preman tersebut adalah tindakan ahistoris, anomali dalam sejarah perjuangan Indonesia. begitupun isu yang dibawah, nasionalisme dan NKRI harga mati adalah slogan yang jauh dari nuansa berfikir rasional.  Tulisan ini akan sedikit memberikan pemahaman kepada mereka. 

Etika dalam perbedaan para pendiri bangsa

Saat Indonesia berada diambang kemerdekaannya, isu yang sangat krusial dan mendesak dan menjadi perdebatan panjang di forum BPUPKI adalah mengenai dasar negara. Indonesia yang akan lahir akan diberi identitas apa, Nasionalisme atau Islam. isu ini memecah tokoh-tokoh kemerdekaan dalam dua kutub yang saling eksklusif. Kelompok-kelompok nasionalis seperti Soekarno, Hatta, syahrir dkk menghendaki Indonesia harus berdasarkan atas asas nasionalisme dan agama menjadi pemandu moral. Sementara, kelompok Islam yang diantara tokohnya adalah Muhammad Natsir, KH. Agus Salim, HAMKA, Ki Bagoes Hadikusumo, dan Wachid Hasyim menginginkan Indonesia menjadi negara Islam.

Yang terlibat dalam perdebatan sengit antara kedua kutub itu adalah antara Soekarno dan Muhammad Natsir yang dimuat di majalah Panji Islam tahun 1940an. Keduanya saling membalas tulisan untuk saling memahamkan ide yang paling rasional antara Islam atau Nasionalisme sebagai dasar negara Indonesia. perdebatan kedua tokoh itu memperlihatkan usaha yang kuat untuk saling memenangkan argumentasi dengan pendapat-pendapat logis yang diutarakan oleh mereka masing-masing. tak tak ada dalam catatan sejarah, Soekarno jengkel dan mengirim pasukan untuk mengepung Muhammad natsir hanya karena keteguhan prinsip natsir terhadap Islam, begitupun sebaliknya.

Perdebatan yang terjadi diantara para tokoh tersebut sebatas hanya pada perang pemikiran, adu argumentasi bukan saling mem-blacklist apalagi mengerahkan massa untuk saling menghancurkan atau membasmi satu sama lain. Perbedaan itu tak pernah ada ujungnya hingga para tokoh itu meninggal dunia. Kelompok Islam dan para tokohnya akhirnya tersisihkan bukan karena kalah argumentasi tapi karena kondisi politik saat itu yang membuat mereka dilemahkan.

NKRI harga mati?

Isu yang diangkat oleh para aktifis anti syariah adalah para pejuang syariah anti NKRI dan berpotensi subversif atau memberontak terhadap NKRI, karena NKRI adalah harga mati. Peryataan ini anomali dalam sejarah pergolakan pemikiran Indonesia. Bahkan seandainya pun kita menerima statement ini pertanyaan yang akan muncul, wujud NKRI harga mati itu seperti apa?, definisi atau batasannya seperti apa?.

Dari semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia saat ini tidak ada yang betul-betul eksklusif produk orisinil dari Indonesia. Mulai dari budaya, sistem politik, ekonomi, hukum, pendidikan, bahkan bahasa Indonesia sekalipun sudah menaturalisasi banyak bahasa asing, Inggris, Arab, Belanda dan Portugis.

Bahwa NKRI sudah final karena hasil perjuangan para pemimpin bangsa itu juga cacat argumentasi. Faktanya, perdebatan identitas dan asas Indonesia yang marak di era pasca reformasi ini adalah kelanjutan dari perdebatan yang sempat tertutup selama kurang lebih 30 tahun oleh rezim diktator Soeharto. Perjuangan Natsir dan kawan-kawan untuk memperjuangkan Islam di Indonesia sempat berhenti karena mereka ditelikung oleh kelompok nasionalis diantara contohnya, penghapusan sebagian kata-kata di poin pertama piagam Jakarta. Kemudian, Masyumi dibubarkan oleh Soekarno dan para tokohnya ditangkapi karena tuduhan pemberontakan PRRI permesta tahun 1960. Setelah Soekarno lengser, para tokoh Islam mengharap kebaikan Soeharto setelah mereka mendukung TNI untuk memukul PKI tapi, Soeharto juga tidak berfihak pada perjuangan kaum Muslim. Itulah alasan sehingga akhirnya perjuangan penegakan Syariah di Indonesia berhenti. Jadi wajar kalau saat ini muncul lagi perdebatan tersebut.   

Berubahnya sebuah bentuk satu negara ke bentuk yang lain tidak perlu ditakutkan. Orang-orang yang takut adalah orang-orang yang tak pernah belajar sejarah dunia atau setidaknya sejarah Indonesia. perubahan sebuah negara dan peradaban adalah hal yang lazim terjadi. Nusantara sendiri telah merasakan jatuh bangunnya tiga peradaban, Hindu, Budha  dan Islam dan saat ini dibawah Kapitalisme. Bahkan usia Indonesia saja terbilang sangat baru dibanding kerajaan Islam Demak yang pernah berkuasa kurang lebih 100 tahun. Jadi tak perlu ada yang ditakutkan, dikhawatirkan apalagi harus berdarah-darah cuma karena mendiskusikan kembali NKRI, itu bukan etika seorang pejuang apalagi bergelar ilmuwan.

Karena kehidupan manusia itu secara alamiahnya adalah dinamis maka yang paling penting adalah dengan cara apa peradaban dan kehidupan manusia ini dijalani. Bagaimana ideologi dan kerangka berfikir yang dibangun untuk menuntaskan segala problematika hidup manusia. Islam sebagai sebuah panduan kehidupan akan otomatis menggerakkan para penganutnya untuk memperjuangkan ide tersebut sehingga bisa diterapkan, sebagaimana aktifis gerakan mahasiswa pembebasan lakukan. Bagi yang menolak, itu adalah wajar tapi yang menolak harus melawan dengan otak bukan dengan otot.  Kalau memang harus, diskusi sampai mati.