Dalam berbagai diskusi tentang hubungan internasional. Para otoritas sering mengungkap bahwa era sekarang tidak bisa dipandang lagi sebagai era dimana kekhawatiran-kekhawatiran tentang perang masih terjadi sehingga setiap Negara harus fokus pada perlombaan peningkatan kekuatan militer. Saat ini menurut mereka adalah era multipolaritas dimana semua Negara-negara secara internasional setara dan juga demokratisasi yang terjadi di hampir seluruh Negara menjadikan kemungkinan akan saling curiga dan perang semakin diperkecil. Demokrasi menjadikan partisipasi politik masyarakat semakin tinggi sehingga kontrol akan kebijakan pemerintah juga pasti akan terjadi dan akan beresiko jika pemerintah bertindak gegabah dengan mengambil tindakan sendiri, karena masyarakat bisa berontak dan mengacaukan stabilitas dalam negeri.
Saat ini memang opini internasional sudah terlanjur didominasi oleh wacana diatas, tentang kemenangan demokrasi liberal, yang menjadikan keterbukaan informasi, kebebasan politik dan kebebasan ekonomi. Menurut penganut paham ini, There is no alternative , demokrasi adalah the end of history, meminjam istilah Margareth thatcher , mantan perdana menteri inggris, dan Francis Fukuyama, penulis best seller, The End of History and the last Man. Yang menjadi masalah bersama saat ini adalah, bagaimana menangani persoalan-persoalan kemanusiaan dan kejahatan transnasional, terrorisme, Globar Warming, pelanggaran HAM, demokratisasi, dsb.
Mengungkap Fakta yang Lain
Saat ini kita berada di zaman globalisasi, dimana paradigma liberalisme telah menjadi sebuah hal yang seolah-olah tidak bisa diperdebatkan lagi. Sebuah Negara yang tidak demokratis akan cepat-cepat dikecam, dan bahkan mungkin konservatif/ anti-kemajuan, atau bahkan dicap menjadi poros setan (Exis of Evil) seperti yang diistilahkan George Bush saat mengomentari, Korea Utara, Iran dan Kuba. Dan semua masyarakat internasional ikut mengaminkan bahwa Negara-negara yang tidak demokratis, anti HAM, haruslah dikecam, dan kalau perlu diasingkan dalam pergaulan internasional.
Posisi saya disini tidak untuk mendiskusikan tentang apakah kita harus demokratis atau tidak, tapi saya hanya ingin mengajak untuk mendialogkan kembali apakah memang kita mesti menjadikan system demokrasi atau liberalisme itu sebagai solusi atas problem domestik sebuah Negara dan juga problem internasional.
Liberalisme adalah sebuah ideology yang menjadi pemenang dalam perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet dengan Sosialismenya. Sehingga setelah Amerika memenangkan pertarungan itu ide liberalism menjadi wacana dominan dalam pergaulan internasional. Bisa disimpulkan bahwa Amerika Adalah penguasa atas dominasi Ideologi Dunia saat ini. Artinya bisa juga dikatakan Amerika adalah penguasa internasional saat ini.
System internasional sekarang bukanlah system yang Multipolar dan juga demokratisasi. Tapi, system sekarang adalah system unipolar dimana Amerika Serikat menjadi penguasa tunggal atau pengendali utama konstelasi politik internasional dan juga demokratisasi hanyalah alat politik Amerika Serikat untuk mendapatkan kepentingannya dan memperkuat posisinya disebuah wilayah.
Untuk melihat bagaimana Amerika Serikat dalam mengimplementasikan kebijakan luar negerinya harus dilihat dahulu bagaimana Amerika mengatur stabilitas dalam negeri untuk kelancaran kebijakan dalam negerinya.
Melihat AS ke Dalam
Perkataan bahwa Amerika Serikat adalah Negara demokrasi terbesar di dunia saat ini harus ditinjau kembali. Pada faktanya kebebasan-kebebasan yang diceramahkan Amerika Serikat kepada negara-negara internasional tidak pernah tercipta dalam tubuh Amerika Serikat sendiri. Justru demokrasi yang memberikan kebebasan politik, ekonomi, pers, kebebasan berfikir, dsb tidak ada di Amerika Serikat.
Amerika Serikat dari segi politik, dalam hal pembuatan kebijakan-kebijakan masyarakat tidak punya andil untuk itu. Yang paling besar pengaruhnya adalah sponsor-sponsor, korporasi-korporasi atau pelobi, dalam pemilihan umum. Dan memang banyak pejabat-pejabat AS yang sekaligus menjadi pejabat-pejabat teras dalam sebuah perusahaan Multinasional tertentu, sehingga pastinya kebijakan-kebijakan politik Amerika Serikat sangat terikat oleh kepentingan-kepentingan pengusaha bukan rakyat. Menggambarkan politik AS Rutherford B. Hayes, presiden AS tahun 1876, pernah berkata dan menilai pemerintahannya sendiri, “ini adalah pemerintahan dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan”.
Di sisi lain, persepsi publik terhadap Amerika serikat juga terkontrol, dikontrol oleh media yang juga menjadi bagian dalam tubuh pemerintahan dan korporasi, atau bahasa john perkins, Corporatocracy. Opini public direkonstruksi melalui media-media cetak dan audio visual. Tujuannya untuk mempertahankan stabilitas dalam negeri dan mempermudah lajunya aliran modal untuk memperkaya individu-individu dalam lingkar kekuasaan. Gambaran sederhana ini bisa dibaca dalam lantunan lagu Green Day, American Idiot,
Don't want to be an American idiot / Don't want a nation under the new media / And can you hear the sound of hysteria? / The subliminal mind fuck America. Welcome to a new kind of tension / All across the alien nation / Where everything isn't meant to be okay/Television dreams of tomorrow / We're not the ones who're meant to follow / For that's enough to argue. Well maybe I'm the faggot America / I'm not a part of a redneck agenda / Now everybody do the propaganda / And sing along to the age of paranoia. Don't want to be an American idiot / One nation controlled by the media/information age of hysteria. It's calling out to idiot America/ |
Lagu ini sangatlah gamblang menggambarkan bagaimana kebodohan masyarakat Amerika yang “berperadaban tinggi” sangat gampang ditipu oleh tontonan semata. Masyarakat Amerika saat ini sudah terpalingkan fokusnya kepada kenikmatan kehidupan mereka sendiri, Bukan berarti bebas, tapi karena otak mereka diserang terus dengan iklan-iklan yang menyenangkan dari TV ditambah lagi prestise hidup kaya. Obsesi-obsesi hidup mewah yang menjadikan Masyarakat AS menjadi Konsumtif, dan merelakan kredit terus menerus, Mobil, Rumah dsb dengan bunga tinggi. akhirnya, tidak ada pilihan lain, hidup bebas harus diganti dengan kerja full time tiap harinya dan mereka terasingkan dalam kebebasannya sendiri.
Mengendalikan opini public penting untuk mendapatkan stabilitas politik dalam negeri. Jika kondisi dalam negeri bisa dikendalikan dengan opini-opini yang dikontrol pemerintah maka tentulah negara itu bisa dengan mudah melakukan kebijakan luar negerinya, karena secara moral sudah didukung oleh warganya sendiri. Jerry D Gray menggambarkan bagaimana kerja-kerja pers dilingkaran istana presiden yang membentuk opini public,
“Jurnalis independen selamanya merupakan pemegang kebenaran dan keadilan di AS. Sayangnya, pengabdian seperti ini tak lagi bisa ditemukan. Sekarang, kita tidak memiliki sumber informasi lain kecuali media korporat. Bagi warga amerika yang mengandalkan sumber-sumer mainstream, dunia menjadi kian jauh dari realitas dan semakin berevolusi ke arah fantasi yang menyesatkan pasalnya, untuk mendapatkan informasi penting yang terandalkan tentang negara sendiri maupun dunia, sebagian besar warga Amerika mesti menjelajahi publikasi di internet. Betapa ironisnya, pers internasional menjadi sumber informasi yang jauh lebih terandalkan dibandingkan media mereka sendiri. Parahnya lagi, jaringan televise yang menyiarkan berita tidak banyak yang melaporkan kejadian yang sesungguhnya…..,Bush belum pernah mengadakan konferensi pers yang sesungguhnya, bush belum pernah menjawab pertanyaan yang belum diatur, disetujui, atau ditanyakan sebelumnya oleh konco Humas Bush yang kebetulan memiliki kartu wartawan”. Dosa-Dosa Media Amerika (Gray, 2006).
US Foreign Policy
City upon a hill adalah cita-cita Amerika Serikat, untuk menjadikan negaranya menjadi mercusuar dunia, agar AS dilihat sebagai sebuah Negara besar, makmur dan sejahtera. Dan kemudian akan memancarkan cahayanya keseluruh penjuru untuk memberikan penerangan pada seluruh kegelapan Negara-negara didunia, Manifest Destiny. Demokratisasi atau Paham Liberalisme menjadi nilai yang “diyakini” oleh AS mampu mengubah peradaban bangsa-bangsa lain menjadi peradaban maju seperti Amerika Serikat. Hanya saja ternyata, pada faktanya bentuk-bentuk dari implementasi Manifest destiny itu sangatlah menyimpang dari cita-cita AS. Kembali ke logika From Business by Business and for Business, propaganda demokratisasi hanyalah jalan untuk melempangkan modal-modal internasional milik segelintir orang di Amerika Serikat. Perang irak, Amerika Serikat, disamping alasan senjata pemusnah massal, yang ternyata CIA membuktikan tidak ada disana, Demokratisasi juga menjadi alasan Invasi itu. Nyatanya, setelah perang bagi-bagi rampasan perang pun dimulai, berbagai proyek konstruksi di bangun oleh perusahaan Multinasional Halliburton yang wakil presiden, Dick Cheney saat itu menjadi salah satu dalam strukturnya. Bahkan jauh-jauh hari sebelum rencana invasi, para pengusaha telah memetakan lahan-lahan strategis minyak Irak.
Amerika banyak memuji Indonesia dalam hal pelaksanaan demokrasi di Indonesia dan banyak membantu Indonesia dalam proses demokrasinya. Nyatanya, demokrasi tidak pernah ada, Aset-aset Negara dijual atas legalitas lembaga-lembaga demokratis, Eksekutif, legislative dan yudikatif, tak lupa kepada Perusahaan Amerika. Sementara masyarakat harus menanggung beban hidup sendiri, pendidikan, kesehatan, dan semua kebutuhan primer menjadi jualan. Padahal demokrasi menjanjikan Prosperity.
Sebenarnya bukan Demokrasi yang diinginkan oleh Amerika Serikat tapi kepentingan ekonominya. Wacana demokratisasi dan liberalisasi hanya terjadi paska perang dingin. Sebelum-sebelumnya, Amerika banyak membantu para penguasa militeristik untuk mempertahankan dominasinya atas Negara- negara lain agar tidak terjatuh dalam ideology komunisme. Dan membantu kudeta atas pemerintah-pemerintah yang berani melawan kehendak Amerika Serikat. Soeharto contohnya, kontrol ketat atas rakyat dan stigmatisasi pada komunis membuat dia didukung habis-habisan oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Sementara di Amerika Latin, presiden Ekuador, Jaime Roldos, dan Panama, Omar Torrijos, mati mengenaskan dan diganti oleh pemimpin lain karena tidak patuh atas perintah Amerika Serikat. Saat ini pun, Amerika masih mendukung institusi-institusi negara yang tidak demokratis, Arab Saudi, Mesir, India, dan Zionisme.
Mengenai penghargaan atas hukum internasional yang diprakarsai salah satunya oleh Amerika Serikat. Malah Amerika Sendiri yang menjadi penjahat hukum internasional nomor wahid di dunia. Perang di irak dan Afghanistan bukan lagi untuk membebaskan negara itu seperti slogannya tapi pembantaian pada semua masyarakat, tidak peduli masyarakat sipil atau siapapun. Penyiksaan di penjara-penjara rahasia AS pada orang-orang yang tertuduh pejuang mereka dimasukkan saja tanpa perlu proses terlebih dahulu. Bantuan dana dan militer ke Israel setiap tahun dijadwalkan. PBB tidak berkutik, semua negara tidak berani bertindak palingan hanya mengecam itupun sebagian kecil.
Ujung-ujungnya mengarah pada satu kepentingan, kekuasaan dan ekonomi. Amerika betul-betul telah melaksanakan proyek tata dunia baru dan Pax-Americana dimana Amerika telah berhasil menjadikan dirinya sebagai polisi dunia. Untuk mengamankan dunia dari pesaing yang bisa mengganggunya. Poinnya bukan lagi demokratis atau tidak tapi, national interest.
Islam, Competitor of Pax-Americana
Tahun 2003 NIC, National Intelligence Council, lembaga think tank AS telah membuat laporan tentang prediksi politik global tahun 2020, “Mapping Global Future”,secara umum disebutkan bahwa tahun 2020 akan muncul beberapa penguasa dunia internasional yang akan mempengaruhi dunia: Ada tiga kekuatan baru yang akan menjadi pesaing Amerika Serikat di tahun 2020 menurut Badan Intelijen Nasional Amerika Serikat. China, India dan Islam dengan peradaban yang menurut badan ini adalah negara islam radikal yang anti dengan peradaban barat. Samuel P. Huntington sejak dulu juga telah pernah menuliskan bahwa bukan golongan islam radikal yang menjadi oposisi bagi peradaban barat tapi islam itu sendiri yang nilai-nilainya tidak akan bisa dikompromikan dengan islam. pada intinya islam memang telah menjadi sasaran utama dalam kebijakan kebijakan Amerika Serikat saat ini.
Tesis Huntington ini dipublikasikan sejak awal-awal tahun 90-an. Dan kemudian amerika serikat mendapatkan jalannya untuk melancarkan perang atas Islam sejak peristiwa black September, 9/11. Dimana AS langsung menuduh orang-orang muslim dan pemikiran radikal mereka sebagai pelaku dari gerakan pemboman tersebut, yang kemudian hari disebut terrorisme. Meskipun pada perkembangannya hingga kini, banyak keanehan-keanehan yang akhirnya disimpulkan bahwa penghancuran WTC dan Pentagon itu rekayasa AS sendiri.
Beberapa hari paska pengeboman itu, Bush mengatakan pada public AS bahwa, perbuatan terror ini adalah dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrimis islam, Al-qaedah yang mencita-citakan sebuah pemerintahan radikal yang anti demokratis yang membentang dari Spanyol, ke afrika, timur tengah dan Asia atau disebut, Caliphate, Kekhalifahan. Tahun 2005 di National Endowment for Democracy, Bush kembali mengulangi, kata-katanya persis seperti beberapa tahun sebelumnya dia ungkapkan. Condeezza Rice, dikesempatan lain juga mengatakan bahwa kemenangan itu bukan ketika teroris dikalahkan dengan kekuatan militer, tetapi ketika ideology kematian dan kebencian itu berhasil dikalahkan.
Berbagai macam pendekatan yang dilakukan oleh Amerika Serikat untuk membendung pengaruh radikalisme islam di seluruh dunia. Bush saat pidato paska keruntuhan WTC sudah mengancam seluruh dunia dengan mengajak seluruh negara untuk melawan terrorisme dengan berkata, Either you with us or with terrorism. Politik stick and carrot , pendekatan ini digunakan oleh Amerika Serikat untuk menangani targetnya, negara-negara islam untuk melawan gerakan-gerakan islam yang dicap radikal/ekstrimis.
Negara-negara yang mau kerjasama dan tunduk pada perintah Amerika Serikat dalam penanganan terrorism akan disuapi berjuta-juta dollar oleh AS. Di wilayah asia tenggara, Indonesia dan Filipina adalah dua negara yang paling banyak disumbang oleh AS untuk pemberantasan pemikiran-pemikiran atau gerakan-gerakan yang bisa menjadikan AS itu sebagai musuh. Di Asia Selatan, Pakistan didanai oleh AS untuk membantu memerangi gerakan-gerakan/pejuang-pejuang islam yang ada di negara itu. Begitupun Mesir penerima bantuan kedua terbesar AS setelah Israel, banyak menangkapi aktifis-aktifis yang bicara tentang politik islam.
Setelah keruntuhan Uni Soviet sebagai pesaing ideologis utama Islam menjadi pesaing utama bagi negara Amerika Serikat. Hanya saja islam saat ini belum menjadi sebuah entitas politik yang bersatu dalam sebuah kepemimpinan. Amerika Serikat sangat paham akan hakikat dari Islam itu sendiri yang bukan saja agama ritual tapi sebuah ideology mendasar tentang bagaimana manusia hidup dan menjalankan kehidupannya. Sehingga, jika islam menjadi sebuah negara seperti satu abad yang lalu maka itu akan membahayakan demokrasi dan kepentingan nasional Amerika serikat
Maka, wahai kaum muslimin semua umat manusia menunggu gerakmu untuk menegakkan khilafah sebagai satu-satunya sarana penegakan hukum syariah dan juga akan menghentikan imperialism barat yang menghancurkan umat manusia dan mempercepat kiamat bagi bumi ini dengan ideology kapitalismenya***.