Aktifitas kelompok preman di Palangkaraya terhadap
sekretariat gerakan mahasiswa Pembebasan wilayah Palangkaraya tidak akan pernah
diakui oleh seluruh pendiri negeri Indonesia meskipun mengatasnamakan cinta
tanah air atau nasionalisme. Perilaku mereka dalam menghakimi sebuah pemikiran
sangat jauh dari “sunnah” para pendiri negeri ini. terlebih lagi latar belakang
para preman itu mengatasnamakan lembaga-lembaga mahasiswa yang dididik untuk
berfikir ilmiah dan rasional dalam setiap tindakan dan perbuatan, bukan
emosional. Tindakan yang dibawah oleh kelompok preman tersebut adalah tindakan
ahistoris, anomali dalam sejarah perjuangan Indonesia. begitupun isu yang
dibawah, nasionalisme dan NKRI harga mati adalah slogan yang jauh dari nuansa
berfikir rasional. Tulisan ini akan
sedikit memberikan pemahaman kepada mereka.
Etika dalam perbedaan para pendiri bangsa
Saat Indonesia berada diambang kemerdekaannya, isu
yang sangat krusial dan mendesak dan menjadi perdebatan panjang di forum BPUPKI
adalah mengenai dasar negara. Indonesia yang akan lahir akan diberi identitas
apa, Nasionalisme atau Islam. isu ini memecah tokoh-tokoh kemerdekaan dalam dua
kutub yang saling eksklusif. Kelompok-kelompok nasionalis seperti Soekarno,
Hatta, syahrir dkk menghendaki Indonesia harus berdasarkan atas asas
nasionalisme dan agama menjadi pemandu moral. Sementara, kelompok Islam yang
diantara tokohnya adalah Muhammad Natsir, KH. Agus Salim, HAMKA, Ki Bagoes
Hadikusumo, dan Wachid Hasyim menginginkan Indonesia menjadi negara Islam.
Yang terlibat dalam perdebatan sengit antara
kedua kutub itu adalah antara Soekarno dan Muhammad Natsir yang dimuat di
majalah Panji Islam tahun 1940an. Keduanya saling membalas tulisan untuk saling
memahamkan ide yang paling rasional antara Islam atau Nasionalisme sebagai
dasar negara Indonesia. perdebatan kedua tokoh itu memperlihatkan usaha yang
kuat untuk saling memenangkan argumentasi dengan pendapat-pendapat logis yang
diutarakan oleh mereka masing-masing. tak tak ada dalam catatan sejarah,
Soekarno jengkel dan mengirim pasukan untuk mengepung Muhammad natsir hanya
karena keteguhan prinsip natsir terhadap Islam, begitupun sebaliknya.
Perdebatan yang terjadi diantara para tokoh
tersebut sebatas hanya pada perang pemikiran, adu argumentasi bukan saling mem-blacklist
apalagi mengerahkan massa untuk saling menghancurkan atau membasmi satu sama
lain. Perbedaan itu tak pernah ada ujungnya hingga para tokoh itu meninggal
dunia. Kelompok Islam dan para tokohnya akhirnya tersisihkan bukan karena kalah
argumentasi tapi karena kondisi politik saat itu yang membuat mereka
dilemahkan.
NKRI harga mati?
Isu yang diangkat oleh para aktifis anti
syariah adalah para pejuang syariah anti NKRI dan berpotensi subversif atau
memberontak terhadap NKRI, karena NKRI adalah harga mati. Peryataan ini anomali
dalam sejarah pergolakan pemikiran Indonesia. Bahkan seandainya pun kita
menerima statement ini pertanyaan yang akan muncul, wujud NKRI harga mati itu
seperti apa?, definisi atau batasannya seperti apa?.
Dari semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia
saat ini tidak ada yang betul-betul eksklusif produk orisinil dari Indonesia.
Mulai dari budaya, sistem politik, ekonomi, hukum, pendidikan, bahkan bahasa
Indonesia sekalipun sudah menaturalisasi banyak bahasa asing, Inggris, Arab,
Belanda dan Portugis.
Bahwa NKRI sudah final karena hasil perjuangan
para pemimpin bangsa itu juga cacat argumentasi. Faktanya, perdebatan identitas
dan asas Indonesia yang marak di era pasca reformasi ini adalah kelanjutan dari
perdebatan yang sempat tertutup selama kurang lebih 30 tahun oleh rezim
diktator Soeharto. Perjuangan Natsir dan kawan-kawan untuk memperjuangkan Islam
di Indonesia sempat berhenti karena mereka ditelikung oleh kelompok nasionalis
diantara contohnya, penghapusan sebagian kata-kata di poin pertama piagam
Jakarta. Kemudian, Masyumi dibubarkan oleh Soekarno dan para tokohnya
ditangkapi karena tuduhan pemberontakan PRRI permesta tahun 1960. Setelah
Soekarno lengser, para tokoh Islam mengharap kebaikan Soeharto setelah mereka
mendukung TNI untuk memukul PKI tapi, Soeharto juga tidak berfihak pada
perjuangan kaum Muslim. Itulah alasan sehingga akhirnya perjuangan penegakan Syariah
di Indonesia berhenti. Jadi wajar kalau saat ini muncul lagi perdebatan
tersebut.
Berubahnya sebuah bentuk satu negara ke bentuk
yang lain tidak perlu ditakutkan. Orang-orang yang takut adalah orang-orang
yang tak pernah belajar sejarah dunia atau setidaknya sejarah Indonesia.
perubahan sebuah negara dan peradaban adalah hal yang lazim terjadi. Nusantara
sendiri telah merasakan jatuh bangunnya tiga peradaban, Hindu, Budha dan Islam dan saat ini dibawah Kapitalisme.
Bahkan usia Indonesia saja terbilang sangat baru dibanding kerajaan Islam Demak
yang pernah berkuasa kurang lebih 100 tahun. Jadi tak perlu ada yang
ditakutkan, dikhawatirkan apalagi harus berdarah-darah cuma karena
mendiskusikan kembali NKRI, itu bukan etika seorang pejuang apalagi bergelar ilmuwan.
Karena kehidupan manusia itu secara alamiahnya
adalah dinamis maka yang paling penting adalah dengan cara apa peradaban dan
kehidupan manusia ini dijalani. Bagaimana ideologi dan kerangka berfikir yang
dibangun untuk menuntaskan segala problematika hidup manusia. Islam sebagai
sebuah panduan kehidupan akan otomatis menggerakkan para penganutnya untuk
memperjuangkan ide tersebut sehingga bisa diterapkan, sebagaimana aktifis
gerakan mahasiswa pembebasan lakukan. Bagi yang menolak, itu adalah wajar tapi
yang menolak harus melawan dengan otak bukan dengan otot. Kalau memang harus, diskusi sampai mati.